
SURABAYA, SJP — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mengungkap adanya delapan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) dalam penangkapan dua aktivis muda, Muhammad Fakhrurrozi alias Paul dan Ahmad Faiz Yusuf. Keduanya dituduh sebagai provokator dalam kerusuhan demonstrasi di Kediri pada 30 Agustus 2025, namun LBH menilai tuduhan tersebut tidak berdasar dan merupakan bentuk kriminalisasi terhadap warga yang kritis.
Ketua LBH Surabaya, Habibus Shalihin, menilai bahwa penangkapan Paul dan Faiz adalah bagian dari pola lama aparat keamanan dalam membungkam suara kritis di ruang publik. Menurutnya, dua aktivis itu menjadi kambing hitam atas peristiwa kerusuhan yang sebenarnya tidak mereka ikuti.
“Negara seolah ingin menakuti mereka yang berani berbicara. Paul dan Faiz dikriminalisasi dengan tuduhan yang dipaksakan, tanpa bukti kuat dan tanpa prosedur hukum yang benar,” ujar Habibus dalam siaran pers LBH Surabaya.
Ahmad Faiz Yusuf atau Faiz, seorang pelajar SMA di Nganjuk yang dikenal sebagai pegiat literasi pelajar, ditangkap lebih dahulu pada 21 September 2025 oleh Polres Kediri Kota. Faiz dituduh menyebarkan provokasi lewat unggahan di akun Instagram yang dikelolanya. Namun, menurut LBH, unggahan tersebut dilakukan di bawah tekanan dan intimidasi, dan tidak ada bukti yang menunjukkan Faiz terlibat dalam aksi pembakaran saat demonstrasi.
Sementara, Muhammad Fakhrurrozi atau Paul, seorang aktivis sosial dan alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dikenal aktif menginisiasi gerakan literasi dan seni di berbagai kota. Ia ditangkap pada 27 September 2025 di kediamannya di Sleman, Yogyakarta, oleh sekitar 30 anggota Polda Jawa Timur yang datang tanpa seragam resmi. Penggeledahan dan penyitaan dilakukan terhadap sejumlah barang pribadinya sebelum ia dibawa paksa ke Mapolda DIY, lalu diteruskan ke Mapolda Jawa Timur. Pemeriksaan terhadap Paul dimulai pada dini hari hingga sore tanpa mempertimbangkan kondisi kesehatan dan hak hukumnya. Hingga kini, tim hukum dan keluarga belum diizinkan bertemu dengannya.
Habibus menjelaskan, proses hukum terhadap keduanya menunjukkan banyak penyimpangan yang serius. Berdasarkan hasil investigasi Tim YLBHI–LBH Surabaya, ditemukan delapan bentuk pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan aparat selama proses penangkapan dan pemeriksaan. Di antaranya, penjemputan paksa terhadap Paul dan Faiz dilakukan dengan dalih pengamanan tanpa surat panggilan pemeriksaan yang sah. Polisi juga tidak menunjukkan bukti permulaan yang cukup untuk melakukan penahanan.
Selain itu, penggeledahan dan penyitaan barang-barang pribadi dilakukan secara sewenang-wenang dan tidak relevan dengan dugaan tindak pidana yang dituduhkan. Aparat juga tidak memberikan alasan objektif atas penangkapan dan penahanan, serta mengabaikan aspek kesehatan dan kondisi psikologis kedua aktivis muda itu selama pemeriksaan.
LBH Surabaya juga menemukan bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yang merupakan hak hukum tersangka dan penasihat hukumnya, tidak pernah diberikan kepada pihak pembela. Dalam proses penyidikan, polisi bahkan dinilai memaksakan penerapan pasal-pasal pidana yang tidak sesuai dengan peristiwa yang terjadi, seolah-olah menciptakan skema pengembangan kasus untuk memperluas kriminalisasi terhadap warga sipil.
Menurut Habibus, praktik-praktik tersebut tidak hanya melanggar hukum acara pidana, tetapi juga melukai nilai-nilai dasar demokrasi.
“Faiz hanyalah pelajar yang menulis dan membaca bersama teman-temannya. Paul adalah aktivis sosial yang mencerdaskan lewat film dan literasi. Keduanya dijadikan sasaran karena mereka berpikir kritis,” tegasnya.
LBH Surabaya menilai bahwa negara gagal menjamin perlindungan hukum yang adil bagi warganya. Habibus menambahkan, kriminalisasi terhadap aktivis adalah ancaman serius terhadap kebebasan sipil. “Jika negara terus membiarkan aparat menekan warga yang berpikir kritis, maka demokrasi akan mati pelan-pelan,” katanya.
Atas berbagai temuan tersebut, LBH Surabaya mendesak Kepolisian Daerah Jawa Timur untuk segera membebaskan Paul dan Faiz tanpa syarat. LBH juga meminta Komnas HAM melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran HAM dalam proses penangkapan dan penahanan, serta mendorong Kompolnas menggelar investigasi independen guna memastikan adanya akuntabilitas aparat yang terlibat.
Selain itu, LBH mendesak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memantau langsung kondisi kedua aktivis selama proses penahanan agar hak-hak dasar mereka tetap terjamin, termasuk akses terhadap penasihat hukum, kesehatan, dan komunikasi dengan keluarga.
Habibus juga mengajak masyarakat sipil untuk tidak tinggal diam menghadapi praktik kriminalisasi semacam ini. Ia menilai dukungan publik sangat penting untuk memastikan proses hukum berjalan transparan dan adil.
“Para aktivis tidak boleh dikriminalisasi dan dibiarkan sendirian dalam menghadapi proses hukum yang tidak adil ini. Masyarakat harus memandang penangkapan dan penahanan kedua aktivis ini sebagai peristiwa yang penting dan serius terhadap keberlangsungan demokrasi yang sehat dan penegakkan hukum yang adil ke depannya.” ujarnya.
Sebelumnya, Kepolisian Resor Kediri Kota menetapkan Ahmad Faiz Yusuf (19), seorang pegiat literasi asal Kediri sebagai tersangka dalam kasus dugaan provokasi kerusuhan 30 Agustus 2025.
Kasatreskrim Polres Kediri Kota, AKP Cipto Dwi Leksana, menjelaskan penetapan Faiz sebagai tersangka dilakukan setelah tim patroli siber menemukan akun-akun media sosial yang memuat ajakan provokatif saat kerusuhan berlangsung. “Ada terduga akun provokatif yang memposting baik itu story maupun feed yang memuat tentang hasutan atau provokasi untuk melakukan suatu kerusuhan,” ujarnya, Selasa (23/9/2025).
Menurut Cipto, FZ diduga mengelola sejumlah akun dan memposting ajakan tindakan anarkistis. Hasil penyelidikan, lanjut dia, memperlihatkan bahwa akun-akun tersebut saling terhubung. “Ada sejumlah akun yang memuat ajakan anarkis, dan setelah diprofiling, sebagian besar terhubung dengan F. Itu menjadi salah satu dasar kami menetapkannya sebagai tersangka,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa proses hukum telah dijalankan sesuai prosedur. Saat ini, FZ dijerat pasal 28 ayat 3 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Unsur pasalnya jelas: setiap orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat. Kami menilai apa yang dilakukan F memenuhi unsur itu,” kata Cipto.
Sementara itu, dikutip dari Portal Humas Polri, Polda Jatim menangkap aktivis Aksi Kamisan Yogyakarta, Muhammad Fakhrurrozi alias Paul, dalam kasus demonstrasi anarkis di Kediri yang berujung pada pembakaran fasilitas publik dan kantor kepolisian.
Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes. Pol. Jules Abraham Abast, S.I.K., mengatakan, Paul ditangkap pada Sabtu, 27 September 2025, pukul 15.00 WIB di rumahnya di Kecamatan Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Polisi menilai Paul berperan aktif berkomunikasi dengan tersangka SA untuk menghasut massa agar melakukan penyerangan dan pembakaran sejumlah fasilitas di Kediri.
Aksi anarkis itu terjadi pada 30 Agustus 2025, termasuk pembakaran Kantor Polres Kediri Kota, penyerangan Kantor DPRD Kediri, serta pelemparan molotov ke pos polisi.
“Atas perbuatannya, MF alias P dijerat dengan Pasal 160 KUHP junto Pasal 187 KUHP, junto Pasal 170 KUHP, junto Pasal 55 KUHP tentang penghasutan untuk melakukan kekerasan terhadap orang atau barang serta pembakaran,” jelasnya.
Selanjutnya, ia mengungkapkan bahwa dari hasil penggeledahan, penyidik menyita telepon genggam, MacBook, tablet Huawei, lima kartu ATM, buku tabungan BCA, dan beberapa buku bacaan. (**)
Editor: Danu S
Sumber : Suara Jatim Post & Berita Terbaru