
TULUNGAGUNG, SJP – Di balik deburan ombak Pantai Sanggar, Desa Jengglungharjo, Kecamatan Tanggunggunung, tersimpan kisah perjuangan tanpa pamrih sekelompok warga desa. Mereka yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sanggaria, bertekad menyelamatkan telur-telur penyu dari ancaman alam dan manusia.
Dengan segala keterbatasan dan tanpa dukungan besar dari berbagai pihak, mereka melakukan konservasi penyu secara mandiri. Setiap hari mereka melakukan patroli, mencari keberadaan telur-telur penyu diantara gundukan pasir di Pantai Sanggar dan sekitarnya.
Ketua Pokdarwis Sanggaria, Lego Riyanto, mengatakan mereka melakukan langkah penyelamatan telur-telur penyu di kawasan Pantai Sanggar dan sekitarnya tersebut sejak tahun 2016. Saat ditemui di tepi pantai berpasir putih itu. Tangannya masih berlumur pasir, baru saja menggali sarang telur penyu yang ditemukan di pantai Sanggar.
“Hari ini kita evakuasi telur penyu yang ada di Pantai Sanggar. Karena di sini rawan predator biawak,” ujar Lego Rianto, Sabtu (4/10/2025).
Pantai Sanggar bukan pantai wisata biasa. Letaknya terpencil, diapit tebing karang, dan harus ditempuh melalui jalan setapak sejauh kurang lebih 3 kilometer dari perkampungan. Namun bagi Lego dan kawan-kawannya, medan sulit bukan alasan untuk berhenti. Mereka tahu, setiap tahun antara Agustus hingga Desember, ada tamu istimewa datang diam-diam ke pantai ini. Ya, penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea) datang dibalik keheningan malam untuk bertelur, menaruh harapan hidup bagi generasi mereka berikutnya.
“Setiap tahun selalu ada penyu naik bertelur di Pantai Sanggar dan Ngalur, Jungpakis dan pantai Patukgebang” tutur Lego.
Namun, telur-telur itu sering kali tak sampai menetas. Banyak yang dimangsa biawak, diambil tangan jahil manusia, atau tertutup akar dan rumput liar hingga tukik tak bisa keluar dari pasir. Berawal dari keprihatinan itulah, para anggota Pokdarwis Sanggaria mulai melakukan konservasi mandiri, tanpa dana pemerintah, tanpa fasilitas modern.
“Tahun ini agak mundur, baru terdeteksi (penyu bertelur) mulai September. Dari September sampai awal Oktober ini, sudah 188 butir telur kita evakuasi.” ungkap Lego.
Setelah diambil, telur-telur penyu tersebut dibawa ke rumah salah seorang anggota Pokdarwis untuk ditetaskan. Tak ada inkubator canggih atau rumah penangkaran modern. Di kampung, telur-telur hasil evakuasi itu diletakkan di ember bekas cat, ditutup pasir pantai. Proses penetasan berlangsung selama dua bulan tiga hari, dengan tingkat keberhasilan sekitar 89 persen.
“Belum ada tempat penetasan yang ideal. Harapan kami pemerintah bisa bantu bikin rumah penetasan di kawasan Pantai Sanggar, supaya enggak perlu jauh-jauh bawa telur ke kampung,” ujar Lego.
Harapan tersebut sangatlah beralasan. Sebab ketika telur-telur penyu sudah menetas, setiap dua hari sekali mereka harus mengambil air laut di pantai Sanggar untuk menyimpan tukik. Perjalanan sejauh 3 kilometer tersebut akan penuh perjuangan ketika musim hujan tiba.
“Dulu pernah coba ambil air dari pantai Sine karena aksesnya lebih mudah, tapi banyak tukik penyu yang mati,” ungkap Lego.
Menurut Lego, hingga saat ini yang sering menjadi kendala adalah biaya operasional. Untuk biaya BBM kendaraan mereka tanggung sendiri-sendiri, sementara untuk pakan tukik, seringkali para anggota Pokdarwis ini urunan.
“Sehari kita habis Rp10 ribu buat pelet, kalau tukik sudah agak besar bisa sampai Rp20 ribu untuk beli ikan,” jelasnya.
Jika dikalkulasi, dalam sebulan bisa ratusan ribu rupiah habis hanya untuk makanan tukik. Namun bagi mereka, biaya itu seolah tidak sebanding dengan kebahagiaan melihat tukik-tukik mungil berenang kembali ke laut.
Tukik biasanya dilepasliarkan pada usia dua bulan, saat mereka sudah cukup kuat menghadapi ombak. Momen pelepasan itu selalu menjadi perayaan kecil di Pantai Sanggar. Anak-anak desa, relawan, dan wisatawan lokal yang kebetulan datang sering ikut menyaksikan saat tukik-tukik mungil itu meluncur ke samudera.
Selama hampir sembilan tahun berjalan, Legi mengaku belum ada dukungan nyata dari pihak luar yang mendukung kegiatan konservasi ini.
“Dulu sempat ada tawaran bantuan dari salah satu BUMN, tapi belum ada tindak lanjut sampai sekarang,” kata Lego.
Dia berharap kepada pemerintah atau perusahaan punya kepedulian lewat CSR, biar penyu-penyu ini bisa terus dilestarikan.
Menurut dia, lokasi ideal untuk penangkaran sebenarnya sudah ada di bagian barat Pantai Sanggar. Tempat itu relatif aman, jauh dari pemukiman, dan masih alami.
“Kalau ada rumah penetasan di sana, kami enggak perlu repot bawa telur ke kampung. Tukik bisa menetas langsung di habitat aslinya,” tambahnya.
Di akhir wawancara, Lego menatap laut lepas dengan senyum tenang. Sambil berharap penyu-penyu yang biasa bertelur di kawasan pantai Sanggar bisa lestari.
“Kita cuma ingin anak cucu kita nanti masih bisa lihat penyu di sini, bukan cuma di gambar.” pungkasnya. (*)
Editor: Danu S
Sumber : Suara Jatim Post & Berita Terbaru