
SUARAJATIMPOST.COM – Pernahkah Anda melihat seseorang yang telah memasuki usia 50 tahun tiba-tiba terlihat lebih bersemangat menjalani hidup? Misalnya menjadi rajin berolahraga, lebih sering berkumpul bersama teman sebaya, mulai gemar berdandan, atau semakin memperhatikan penampilan. Fenomena tersebut kerap disebut sebagai “puber kedua.”
Perlu diketahui, istilah puber kedua sebenarnya tidak dikenal dalam dunia medis. Namun, perubahan gaya hidup pada rentang usia 40 hingga 65 tahun merupakan hal yang wajar selama tidak dilakukan secara berlebihan dan tidak mengganggu orang lain.
Banyak orang di fase ini merasa terdorong untuk mencoba hal-hal baru, menghidupkan kembali hobi lama, atau melakukan kegiatan yang sebelumnya belum sempat diwujudkan. Hidup pun terasa lebih menyenangkan dan penuh energi baru.
Selain itu, fase ini juga membuat seseorang lebih reflektif. Mereka mulai memikirkan kembali prioritas hidup, lebih peka terhadap lingkungan sekitar, serta mendambakan hubungan sosial yang lebih bermakna.
Secara medis, pubertas sejati hanya terjadi sekali dalam hidup, yakni pada masa remaja. Saat itu, tubuh mengalami perubahan hormon yang memicu perkembangan organ reproduksi.
Meski demikian, istilah puber kedua sering dikaitkan dengan perubahan hormon pada usia dewasa. Pada wanita, fase menopause atau masa menjelangnya ditandai dengan menurunnya kadar estrogen. Sedangkan pada pria, penuaan dapat menyebabkan penurunan kadar testosteron.
Perubahan hormon tersebut dapat memengaruhi suasana hati, tingkat energi, aktivitas, libido, bahkan fungsi kognitif. Inilah salah satu alasan mengapa sebagian orang tampak seperti mengalami puber kedua.
Pada dasarnya, puber kedua bukanlah masalah kesehatan yang perlu dikhawatirkan, selama tidak menimbulkan dampak serius seperti depresi, gangguan kecemasan, atau konflik dalam rumah tangga.
Jika Anda memiliki orang terdekat yang sedang melalui fase ini, sebaiknya berikan ruang dan dukungan. Dengarkan cerita mereka dengan empati.
Namun, apabila perubahan tersebut sudah mengganggu aktivitas sehari-hari atau menimbulkan masalah dalam hubungan dengan pasangan, sebaiknya konsultasikan dengan psikolog atau psikiater. (**)
Editor : Rizqi Ardian
Sumber : Suara Jatim Post & Berita Terbaru