
JAKARTA, SJP — Metode cough CPR atau teknik batuk berirama kembali viral di media sosial dengan klaim mampu menyelamatkan seseorang yang mengalami serangan jantung saat sendirian. Klaim ini menarik perhatian publik, namun para ahli menegaskan teknik tersebut tidak cocok diterapkan di luar lingkungan medis.
Metode ini awalnya dikenal dalam prosedur medis pada akhir 1970-an, ketika dokter meminta pasien batuk kuat untuk membantu menjaga aliran darah dan kesadaran saat mengalami aritmia atau gangguan irama jantung. Namun, teknik tersebut hanya dilakukan dalam kondisi terkontrol, seperti ruang operasi atau rumah sakit.
Serangan jantung sendiri berbeda dengan henti jantung. Serangan jantung terjadi akibat penyumbatan aliran darah ke jantung, sedangkan henti jantung disebabkan gangguan sistem listrik yang membuat jantung berhenti berdetak efektif. Cough CPR hanya dapat membantu pada kasus aritmia tertentu, bukan untuk serangan jantung atau henti jantung total.
Organisasi kesehatan dunia seperti American Heart Association (AHA), British Heart Foundation, dan Resuscitation Council UK tidak merekomendasikan penggunaan cough CPR di luar rumah sakit.
Mereka menilai, mengandalkan metode ini justru dapat memperlambat penanganan darurat yang terbukti efektif seperti CPR konvensional atau penggunaan AED (Automated External Defibrillator).
Viralnya teknik ini dipicu sifat media sosial yang cenderung menyebarkan konten mengejutkan atau emosional dibanding informasi medis yang kompleks. Gagasan bahwa seseorang dapat “menyelamatkan diri sendiri” dengan cara sederhana membuat teknik ini cepat populer, meski belum terbukti aman.
Hingga kini, belum ada penelitian kuat yang mendukung efektivitas cough CPR di masyarakat umum. Para ahli menegaskan, tindakan terbaik saat terjadi serangan jantung adalah segera mengenali gejala, memanggil bantuan medis, dan melakukan CPR sesuai prosedur jika diperlukan. (**)
Editor: Rizqi Ardian
Sumber: Beritasatu.com
Sumber : Suara Jatim Post & Berita Terbaru