
MALANG, SJP — Terdengar suara gesekan kayu berpadu ritme dengan gerakan tangan Sutiah (43), seorang pengrajin mendong asal Dusun Pakem, Desa Wajak, Kabupaten Malang.
Sejak usia 10 tahun, ia telah akrab dengan serat mendong, bahan alami yang ditumbuhkan di sawah-sawah basah untuk kemudian dianyam menjadi tikar dan berbagai produk rumah tangga.
Di sudut rumahnya yang juga berdampingan dengan kandang sapi, Sutiah tetap setia menenun tikar. Panjang tikar hasil anyamannya bisa mencapai 10 meter, biasa dipakai sebagai alas jenazah hingga keperluan adat di Bali. Harga per tikar berkisar Rp80 ribu hingga Rp110 ribu, tergantung ukuran dan kualitas serat.
“Pesanan sekarang memang tidak seramai dulu. Tapi kalau masih ada yang minta, saya tetap buat. Ini sudah jadi bagian hidup saya,” ucap perempuan murah senyum ini.
Mendong bagi masyarakat Wajak bukan soal tanaman liar. Ia tumbuh di persawahan basah, dipanen, dikeringkan, lalu dianyam menjadi karya yang fungsional sekaligus sarat makna budaya.
Sutiah bersama suaminya yang juga bertani dan beternak, bersyukur bahan baku masih tersedia meski lahan pertanian mendong kian menyempit.
Mereka tak hanya menjaga keterampilan, melainkan melestarikan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun.
Di tengah arus zaman yang semakin pragmatis, Sutiah adalah wajah dari keteguhan. Menenun serat-serat mendong, termasuk merajut memori kolektif masyarakat Wajak.
“Selama masih ada yang pesan, saya akan terus membuat. Ini bukan hanya kerja, tapi juga tradisi dari orang tua dulu,” kata Sutiah kembali.
Dari Dusun Pakem, anyaman mendong terus berbicara dalam diam. Menyimpan jejak kesabaran, keuletan, dan nilai budaya yang tak lekang waktu.
Menurut catatan desa, budidaya mendong mulai berkembang serius sejak 1970-an, saat petani Wajak mengelola lahan basah khusus untuk menanam tanaman ini.
Namun, tradisi anyam mendong diyakini sudah ada jauh sebelumnya, diwariskan dari generasi ke generasi. Kajian etnobotani menyebut mendong sebagai bagian dari identitas budaya agraris Jawa Timur, khususnya Malang, yang erat dengan siklus kehidupan masyarakat desa. (*)
Editor: Rizqi Ardian
Sumber : Suara Jatim Post & Berita Terbaru