
SURABAYA, SJP – Gelombang tuntutan rakyat yang sempat mengguncang kondisi sosial politik Indonesia sejak 25 Agustus hingga 2 September 2025 melahirkan satu fenomena unik, yakni gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat.”
Bak sebuah gebrakan baru, gerakan tersebut tidak hanya membawa isi aspirasi yang segar, tetapi juga menggunakan cara penyampaian yang kontras, terutama melalui penggunaan warna hijau dan pink sebagai identitas visual.
Sebelumnya, diketahui kemarahan publik bermula dari keputusan pemerintah menaikkan tunjangan anggota dewan secara drastis, yang dianggap timpang dengan kondisi masyarakat di luar gedung parlemen.
Protes kian membesar, bahkan hingga menimbulkan kerusuhan di berbagai daerah. Kini pemerintah berusaha meredam dengan langkah-langkah serius, mulai dari reshuffle kabinet hingga pembatalan tunjangan rumah dewan. Namun, api ketidakpuasan sudah terlanjur membakar jalanan.
Di tengah gelombang itu, lahirlah “17+8 Tuntutan Rakyat,” sebuah rangkuman aspirasi berbagai kelompok yang kemudian digerakkan secara masif di media sosial.
Dengan memanfaatkan kekuatan visual, gerakan itu tampil berbeda, tidak lagi hanya berupa poster hitam putih penuh teks, melainkan desain berwarna hijau dan pink yang segera akrab di mata publik, khususnya generasi muda.
Menanggapi gerakan itu, Dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) Petra Christian University, Asthararianty, menilai strategi warna tersebut bukan kebetulan. Dalam dunia DKV sendiri, warna adalah alat komunikasi non-verbal yang efektif.
“Warna bukan sekadar elemen estetika, tapi bahasa universal yang mampu menyampaikan pesan, membangkitkan emosi, dan menyatukan berbagai kelompok masyarakat,” ujar Astha, Kamis (18/9/2025).
Astha menjelaskan, warna pink secara psikologis merepresentasikan kelembutan dan empati, sementara secara kultural identik dengan solidaritas. Sebaliknya, hijau menghadirkan kesan segar dan tenang, serta menjadi simbol kehidupan.
Dalam gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat sendiri, warna yang dipilih itu juga memiliki nama masing-masing. Dengan merah muda yang disebut Brave Pink, hijau disebut Hero Green, dan ada warna biru yang disebut sebagai Resistance Blue.
Menurut Astha, makna tersebut bisa bergeser tergantung latar belakang budaya, tetapi dalam konteks gerakan sosial, kombinasi keduanya menciptakan pesan yang kuat.
“Visual memiliki kekuatan yang tidak terbatas, yang mampu membangun jembatan emosi menuju persepsi dan identitas. Karena itu, pemilihan warna dalam gerakan sosial tidak boleh asal-asalan. Harus ada tujuan dan dasar teori yang jelas,” tegas dosen DKV yang sudah mengajar sejak 2009 itu.
Penggunaan warna hijau dan pink yang konsisten membuat gerakan 17+8 lebih mudah diingat dan diikuti, terlebih beberapa pengguna sosial media juga mengganti foto profil mereka dengan tone warna yang sama dengan gerakan 17+8 tuntutan rakyat.
“Simbol visual kini bukan lagi sekadar pelengkap, tetapi strategi utama dalam komunikasi sosial,” tandas Astha.
Gerakan itupun memunculkan pertanyaan lebih jauh, apakah daya tarik visual akan menjadi salah satu kunci keberhasilan gerakan 17+8 dalam menyatukan suara rakyat? Yang jelas, di tengah gaduh kondisi sosial politik Indonesia, kini warna juga ikut ambil peran dalam bersuara. (*)
Editor: Rizqi Ardian
Sumber : Suara Jatim Post & Berita Terbaru